Lompat ke isi

From Gaza City Until Wuhan

Dari Wikikutip bahasa Indonesia, koleksi kutipan bebas.

From Gaza City Until Wuhan adalah buku yang berisi memoar karya Wulan Wahyuning Ratri dan Dhinar Ajeng Fitriany bersama 22 Teman Mancanegara. Pertama kali diterbitkan oleh Penerbit One Peach Media pada November 2021.

Sinopsis[sunting]

From Gaza City Until Wuhan adalah buku nonfiksi yang berisi memoar-memoar atau berbagai kumpulan kisah-kisah manis dari teman-teman Internasional yang memiliki perbedaan budaya, keadaan, dan latar belakang sejarah suatu tempat. Kisah-kisah menakjubkan dari teman mancanegara dari dari Wulan Wahyuning Ratri dan Dhinar Ajeng Fitriany ini dikemas dengan pemaparan yang sederhana tetapi sangat menarik dan unik. Buku ini juga menggambarkan serta mengajarkan pentingnya arti sebuah persahabatan dengan memanfaatkan jejaring media sosial secara positif.

Teman-teman mancanegara dari Wulan Wahyuning Ratri dan Dhinar Ajeng Fitriany berbagi cerita mengenai semangat hidup, semangat juang, motivasi-motivasi meraih pendidikan tinggi, karir, hobi-hobi yang unik, serta kekeluargaan. Teman-teman mancanegara yang menyuguhkan kumpulan ceritanya, yakni: Ahmad Adel, Anas Kamal Hamdan, Othman Hassan, Khaled Sharhabeel berasal dari Gaza City (Palestina). Mohammad Al Farra dan Hussain Abu Namous berasal dari Khan Younis (Palestina). Sanad Lahaleh yang saat ini tinggal di Hebron (Palestina). Monther Rasheed saat ini tinggal di Ramallah (Palestina). Zainab Shehab dari Tanta (Mesir). Eslam Essam dan Ibrahim Mazen dari Kairo (Mesir). Rarane El Masri dari Beirut (Lebanon), Syed Zameer Raza Safvi dari Srinagar (Khasmir), Syed Faseeh Abbas Zaidi dari Islamabad (Pakistan), Hasan Mohammed Sbaihat dari Jülich (Jerman), Junaed Khan saat ini tinggal di Oldham (Inggris), Irena Ilieva dari Strumica (Macedonia), Jason Harrison dari Victoria (Australia). Dari Seoul (Korea Selatan) ada Onechul Shin dan T.G. Zhangyi dari Xiaogan (Cina) dan Shadi Lahaleh yang saat ini tinggal di Wuhan (Cina).

Narator[sunting]

  • Akan lebih menyenangkan jika kita membaca cerita seseorang dengan tokoh "Aku". Jadi, kau yang membacanya dapat membayangkan dirimu menjadi "aku". (hlm. 25)
  • Kenapa aku menganggap mereka sebagai teman, padahal mereka jauh, bukan? Jawabannya adalah karena mereka tidak pernah menghakimiku. (hlm. 25)
  • Setiap aku memulai pembicaraan dengan mereka, hatiku terasa lapang. Ketika aku mengakhiri pembicaraan dengan dengan mereka, selalu ada kebaikan yang tertanam dalam hati. (hlm. 26)
  • Kebaikan itu ada di setiap negara, di berbagai tempat, bahkan kadang kita tidak mengira tetap ada kebaikan di tempat yang mungkin ditakuti. (hlm. 26)
  • Semoga segala virus dan segala yang membuat kita takut dan sedih dapat hilang dari bumi ini. (hlm. 36)

Wulan Wahyuning Ratri[sunting]

  • Aku tak tahu betul bagaimana karakter orang Palestina, terutama orang yang berada di perbatasan Gaza, tetapi menurutku salah satu karakter orang Palestina yang baik itu adalah suka memberi tanpa diminta. (hlm. 28)
  • Aku hanya datang kepada mereka dengan rasa pertemanan. Tidak membawa berlian, tidak membawa kejeniusan, dan tidak membawa kekayaan duniawi. (hlm. 30)
  • Tidak apa-apa jika tak dapat bertemu pada akhirnya. Doa yang baik sudah cukup menjadi penghubung pertemanan kami. (hlm. 31)
  • Suatu saat akan hadir dunia yang di dalamnya penuh rasa penghormatan, terlepas latar belakang apapun yang kita miliki. (hlm. 32)

Dhinar Ajeng Fitriany[sunting]

  • Setiap orang dari berbagai negara memiliki cerita yang layak untuk dibagikan, seperti kue manis yang dibagikan kepada teman-teman kita. (hlm. 37)
  • Cerita dapat membuat kita merasa tidak kesepian, sekalipun tidak ada siapa-siapa di sekeliling kita. (hlm. 39)
  • Setelah membaca cerita-cerita tersebut, kau boleh menyampaikannya kepada orang lain dengan kelembutan agar cerita yang kau sampaikan tidak hanya terhenti pada satu orang, tetapi berkelanjutan hingga dunia dan sinarnya kembali ada. (hlm. 40)

Ahmed Adel[sunting]

  • [kepada Wulan] Aku menyiapkan sesuatu untukmu. Bukan sesuatu yag mahal, tapi kuharap kau menyukainya. (hlm. 25)
  • Kusadari, walaupun hanya menjaga toko, itu tetaplah pekerjaan halal dan menghasilkan uang. (hlm. 44)
  • Aku ingin terus bermimpi dan berimajinasi, walau tak selalu menjadi kenyataan. Aku tahu, beberapa mimpiku pada suatu hari akan dihujani keindahan dari langit. (hlm. 44)
  • Pada kenyataannya, mimpi itu memang tak terwujud. Namun, tidak apa-apa karena takdir yang membawaku ke sini. (hlm. 45)
  • Kita bukanlah robot yang harus selalu terlihat sempurna. Justru, dengan menyadari saat-saat indah dan suram, kita menjadi lebih mampu bersyukur. (hlm. 47)
  • Daftar kebahagiaanku selalu bertambah dan berharap tak akan pernah berheneti dengan apapun yang terjadi di sini. (hlm. 49)
  • Ceria! itulah diriku. Untuk temanku, sesekali kita harus ceria, ya, walau ada saatnya kesedihan merengkuh kita. (hlm. 49)
  • If you want to live a happy life, tie it to a goal, not people or object. (hlm. 51)
  • Kadang, rasa trauma itu tak dapat ditebak oleh waktu. Betapa pun sibuknya kita berkata bahwa kita tak ingin kembali kepada masa lalu yang mungkin diwarnai dengan satu titik trauma, semuanya nanti di masa depan tetap berdasarkan keridhaan Allah. Semoga Allah memberikan kebijaksanaan kepada kita untuk memiliki waktu yang tepat untuk selalu berbuat kebaikan. Semoga Allah menghindarkan kita dari kejahatan. (hlm. 53)
  • Satu sisi kesedihan pasti datang dan tak dapat kita hindari, sama seperti kebahagiaan yang tak juga dapat dihindari. (hlm. 54)
  • Terlepas dari kesulitan apapun yang dialami, kita harus percaya bahwa kehidupan masih mekar di hadapan kita. (hlm. 55)

Anas Akmal Hamdan[sunting]

  • Duhai temanku, orang Palestina setiap pagi bangun dengan rasa bangga. (hlm. 57)
  • Orang Palestina dalam mataku selalu berusaha beradaptasi dengan berbagai keadaan, walaupun kadang ada perasaan terpaksa dalam satu sisi, kami tetap terus berjuang. (hlm. 58)
  • Pada akhirnya dalam mataku ini, orang Palestina tetap menjadi ikon untuk semua generasi. (hlm. 58)
  • Mungkin kau dapat melihat bagaimana diriku juga melalui mataku. (hlm. 58)
  • Terima kasih untuk orang-orang yang ingin membuat kami patah hati. (hlm. 59)
  • Dalam mataku, orang Palestina, terutama orang-orang yang ada di Gaza City ini penuh cinta dan damai. (hlm 59)
  • Kami ingin menghadirkan cinta bagi mereka yang membantu kami meninggalkan puncak badai. Kami juga ingin menebarkan cinta pada orang yang telah bersusah payah membela kami. (hlm. 59).
  • Berkaitan dengan cinta, terkadang aku melantunkan cinta dalam doa di malam hari. (hlm. 61)
  • Kau tau, bagaimana caranya agar bisa mendeteksi orang-orang yang kau sukai? Cobalah perhatikan jiwanya. (hlm. 62)

Othman Hasan[sunting]

  • Tersenyum dan belajar. Itulah kehidupanku. (hlm. 64)
  • Ingin rasanya diriku melihat keluarga senang karena kesungguhan belajar. (hlm. 64)
  • Aku akan selalu berjuang sepenuh hati dalam belajar. Bagiku, pendidikan sangatlah penting. (hlm. 66)
  • Salam terindah dariku dan dari bunga yang paling indah untuk memeluk hati orang-orang baik. (hlm. 67)
  • Kadang, ada memori yang tertinggal dalam mataku. Adapula memori yang pergi diam-diam tanpa permisi ataupun tanpa keberatan. (hlm. 67).
  • Putaran waktu juga mengatakan kepada mataku bahwa mata melihat siapa yang jatuh di dalam hatiku untuk sementara atau bahkan selamanya. Ayahku adalah orang yang jatuh di dalam hatiku untuk selamanya. (hlm. 68)

Khaleed Sharhabeel Alzaee[sunting]

  • Terlepas dari bagaimana perbatasan Gaza, termasuk Gaza City yang digambarkan media hari ini, aku tetap selalu mencintai Gaza City. (hlm. 69)
  • Duri kaktus mengingatkanku pada duri kehidupan. (hlm. 72)
  • Tinggal dimana pun pasti membawa hikmah. Jadi, aku juga harus maju walau tinggal di perbatasan Gaza. (hlm. 73)
  • Tidak harus selalu kesuksesan itu diasosiasikan dengan pekerjaan super bergengsi. Kadang menjadi penjual donat d pinggir jalan pun sudah berarti sukses. (hlm 74)
  • Tinggal di manapun tak seharusnya menjadi penghalang bagi diri kita untuk terus maju dan berjuang dalam kehidupan. (hlm. 74)

Mohammad Al Farra[sunting]

  • Ada hal sederhana yang aku inginkan dan mungkin banyak pemuda Palestina lain inginkan yakni dijauhkan dari perang dan dijauhkan dari masalah. Kedamaian pasti akan membahagiakan diriku. (hlm. 80)
  • Salah satu hal yang paling aku senangi adalah memiliki harapan. (hlm. 80)
  • Kenangan saat aku masih kecil. Aku tahu, hari-hari yang indah di masa lalu memang tidak akan kembali, tetapi aku masih bisa berharap bahwa hari-hari yang lebih indah ataupun yang paling indah pasti akan datang. (hlm. 81)
  • Aku ingin mengucapkan salam hangat kepada orang Indonesia dari tanah Palestina, tanah kebanggaanku, tanah martabatku. Salam cinta untuk tanah Indonesia, tanah yang penuh cinta, kedamaian, dan kemurahan hati. (hlm. 81)
  • Hidup ini penuh dengan batu. Usahakanlah agar kita tak terlalu banyak tersandung batu. Akan lebih baik jika saat melihat bebatuan, kita kumpulkan batu-batu itu, lalu bangun tangga di dalamnya untuk menjadi lebih baik. (hlm. 82)
  • Aku tahu dan sadar memiliki mata, termasuk mata hati, kenapa malah melihat orang dengan telingaku? (hlm. 82)

Hussain Abu Namous[sunting]

  • Salah satu gambar yang kubuat. Manis, bukan? Semoga kau menjalani hari-hari yang manis! (hlm. 85)
  • Hidup bukanlah soal satu jengkal langkah. Masih ribuan langkah lagi yang harus kita tempuh di sini. (hlm. 85)
  • Dengan adanya perubahan baru, berarti aku harus meninggalkan segala sukacita, kesedihan, rasa sakit, ataupun sesuatu yang rusak di belakang. Aku harus kembali menata hidup. (hlm. 87)
  • Saat perayaan ulang tahunku-ibuku pernah berbisik, "Sayangku, kau harus bersinar di planet ini, harus optimis". (hlm. 87)
  • Di sisi lain, aku tahu, seharusnya merasa damai karena energi yang dimiliki tidak terkuras oleh sesuatu yang dicintai secara mendalam. (hlm. 88)

Sanad Lahaleh[sunting]

  • Ambisi ini harus bebas dari rasa irii yang negatif dan bebas dari kebencian yang membuat seseorang bercita-cita untuk menjalani masa depannya dengan memanjat pundak orang lain. (hlm. 93)
  • Ini memang seperti dua hal yang sederhana: menulis dan membaca. Namun, aku sangat suka menulis dan membaca. (hlm. 93)
  • Novel-novel pun sering kulahap dengan penuh antusias. (hlm. 94)
  • Kini, aku berada di stasiun, menunggu kalian kembali. Aku berdiri di sudut stasiun. Mungkinkah kalian juga mengharapkan aku bertemu kembali dengan kalian? (hlm. 96)
  • Kuharapkan kedamaian untuk orang-orang yang hatinya tumbuh dengan bijak dan tetap merunduk seperti bunga-bunga yang berdekatan dengan tanah. (hlm. 97)

Monther Rasheed[sunting]

  • Tentu aku telah banyak bertemu orang-orang Indonesia. Menurutku, orang Indonesia sangat tahu sopan santun dan umumnya sangat baik. (hlm. 102)
  • Ayo, tersenyumlah! Jika kita ingin merasakan sukacita kedamaian batin, setidaknya kita bisa memberi secercah senyuman. (hlm. 105)
  • Tersenyumlah. Setelah apapun yang terjadi, kuharap masih ada seulas senyum dari diri kita. (hlm. 106)

Zainab Shehab[sunting]

  • Aku yakin setiap jalan terhubung dengan pena masing-masing. Kadang, ada saat aku tersesat di jalan, tidak tahu pena mana yang harus digunakan. (hlm. 110)
  • Aku tidak tahu apakah kematian dekat denganku ataukah masih jauh. Aku tidak tahu apakah 'dekat' atau 'jauh' itu memiliki makna yang mirip. (hlm. 111)
  • Beberapa keyakinan dan ide telah berubah. Kurasa, memang perlu ada beberapa perubahan dalam hidup. Bukankah kadang msalah kitapun akan berubah? (hlm. 111)
  • Tahun kemarin telah kuselesaikan dengan wawasan dan mimpi. Aku belajar bahwa mimpi memang penting. (hlm. 112)
  • Pernah ada orang-orang yang ingin berpegangan tangan kepadaku, tetapi aku justru menjauh dari mereka. Adapula saat aku ingin mengulurkan tangan kepada beberapa orang, tetapi mereka justru menolak. (hlm. 112)

Eslam Essam[sunting]

  • Kurasa kami belum terlalu dikenal. Itu tidak apa-apa, selama masih ada orang-orang yang mendengarkan dan merasa terhibur dengan musik yang kami sajikan, kami tulus menyajikan musik yang indah. (hlm. 117)
  • Aku memang menyukai warna biru, termasuk biru laut. Juga biru langit dan biru galaksi, meskipun memang biru laut mendominasi hatiku. (hlm. 119)
  • Apa kau juga menyenangi biru laut atau kau lebih suka pergi ke hutan? Mungkin yang lainnya, semisal kau lebih senang duduk sederhana saja di teras rumahmu? Itu menurutku sama baiknya dengan memandang birunya lautan. (hlm. 119)
  • Rasanya aku ingin menggapai langit, tetapi kembali teringat bahwa manusia harus membumi. Tidak perlu terlalu bersih keras menggapai langit. Cukup nikmati langit, tersenyum, lalu bersikap optimis tanpa harus terlihat memaksa keadaan. (hlm. 119)

Ibrahim Mazen[sunting]

  • Memang aku datang dari Palestina bersama keluargaku, lalu kami pindah ke Mesir. Walau begitu, kami tidak pernah meninggalkan Palestina dari hati kami. (hlm 124)
  • Dabke adalah bagian dariku, bagian dari tanah airku–Palestina. Aku melihat tanah air ketika bersungguh-sungguh menari dabke. (hlm. 125)
  • Melalui dabke, aku seperti mampu melihat kebun-kebun zaitun yang memang menjadi ciri khs tanah Palestina. Aku terengkuh dalam ambang mimpi dan kenyataan. (hlm. 125)
  • Aku memang tidak tahu banyak hal tentang perdamaian. Aakan tetapi, aku yakin suatu saat nanti melalui cara tertentu yang dikirimkan Allah, ada saat-saat perdamaian di seluruh dunia muncul. (hlm. 126)
  • Dabke adalah hidupku, cintaku, dan identitasku. (hlm. 128)

Rayane El Masri[sunting]

  • Tadinya aku memandang semuanya seperti menakutkan, tetapi berkatnya aku merasa senang berjalan-jalan. (hlm. 132)
  • Kita adalah manusia yang sama-sama berjuang hidup. Walaupun keyakinan kita berbeda dan latar belakang kita tak sama, aku tetap selalu mencintai kalian dari lubuk hati. (hlm. 133)
  • Kalau kita bersikap baik, kita akan bertemu orang baik juga. Jika kita bersikap jahat, kita akan bertemu orang jahat karena frekuensi itu memang ada. Mereka akan terbang bersama. (hlm. 133)
  • Seperti berada pada trampolin ini, aku seperti dapat terbang, tetapi tetap terbatas. Demikian pula dengan hidup. Kita dapat memiliki mimpi setinggi mungkin, tetapi kita harus tetap ingat batasan dan norma. (hlm. 134)
  • Aku berusaha menerima setiap kenyataan, tetapi aku tetap berharap hal indah seperti warna gaunku. Sederhana tapi indah menurutku. (hlm. 135)

Syed Zameer Raza Safvi[sunting]

  • Warna jingga yang hadir dalam musim gugur pasti tidak ingin kau lewatkan begitu saja. Jujur saja, bahkan aku sendiri tidak bisa benar-benar mengungkapkan keindahan Kashmir tanah airku. (hlm. 139)
  • Orang-orang Indonesia menurutku adalah orang-orang yang hebat. Mereka memiliki kepedulian yang tinggi, sangat sopan dan santun. Itu menurutku jarang terjadi di dunia ini. (hlm. 142)
  • Jikja tidak pernah berada di Indonesia, mungkin hidupku juga tidak seperti ini. Indonesia telah kuanggap seperti rumah kedua, walau aku belum dapat kembali lagi ke sana. (hlm. 144)

Syed Faseeh Abbas Zaidi[sunting]

  • Kau dapat melakukan apa pun yang kau mimpikan dan kauharapkan. (hlm. 146)
  • Aku pun merasa senang dapat bekerja dengan buruh. Justru aku dapat belajar banyak hal dari mereka, karena buku pelajaran tidak mengajari tentang apa yang bisa kupelajari dari mereka. (hlm. 149)
  • Aku yakin kau adalah pemenang. Setiap orang adalah pemenang kehidupan. (hlm. 150)

Hasan Mohammed Sbaihat[sunting]

  • Aku ingin kembali ke tanah air untuk mengembangkan serta meningkatkan level akademik yang akan tercermin di semua level sosial dan ekonomi. (hlm. 156)
  • Pada akhirnya, melalui pengalaman ini, aku ingin mengatakan bahwa orang Palestina memiliki kisah sederhana, tetapi menarik seperti kisahku. Di samping itu, aku yakin masih banyak orang Palestina lainnya yang memiliki berbagai kisah yang sangat baik. (hlm. 157)
  • Namun, 584 hari yang kulalui di Indonesia juga bersisi 584 cerita, kenangan, melodi yang indah, bahkan hal lainnya yang tak terlukiskan dengan kata. (hlm. 158)
  • Mereka adalah orang-orang yang bahagia karena memiliki hati yang luar biasa. Senyuman mereka pun terasa lebih indah. (hlm. 160)
  • Bagaimana aku bisa meninggalkan orang Indonesia? Bagaimana aku bisa meninggalkan negara Indonesia yang indah ini? Bagaimana aku mampu memutuskan kisah cinta itu? (hlm. 161)
  • Kita bukanlah orang terbaik di dunia. Bukanlah orang yang paling makmur di dunia. Kita juga akan tahu perihal kemanusiaan dan peradaban. (hlm. 161)
  • Kita akan belajar menghormati orang lain sehingga mampu menghormati diri sendiri. (hlm. 162)

Junaed Khan[sunting]

  • Ternayata, mereka tidak takut kepada kami, bahkan terlihat senang atas kehadiran kami. Mereka menyambut kami dengan tangan terbuka sebagai tamu. (hlm. 166)

Irena Ilieva[sunting]

  • Ia menghargai setiap sinar matahari, setiap tetes hujan, setiap embusan angin, setiap aprikot, dan setiap tomat yang dirawat bersama kakekku. (hlm. 173)
  • Nenek gemar mendaur ulang. Benar-benar seakan tidak ingin menyia-nyiakan banyak barang, banyak hal, dan banyak peristiwa. (hlm. 173)
  • Hidup yang lambat bisa menjadi perjalanan yang indah, kaya, dan menyenangkan jiwa. Lambat bukan berarti tidak dinamis. Lambat itu berarti berhati-hati dan penuh kesabaran. (hlm. 174)
  • Rainforest whisper my name. Something inside me will never be famed. (hlm. 175)
  • Menjauh sementara dari orang lain itu tidak selalu buruk. Kadang itu justru membantu diri untuk merefleksikan apa yang ada dalam pikiranku, bagaimana aku harus bertindak, serta menjadi dapat lebihmengetahui hasrat dalam jiwa. (hlm. 177)

Jason Harrison[sunting]

  • Tetapi masalahnya aku tak terlalu menarik. Aku juga berpikir bahwa banyak orang Australia tidak merasa diri mereka sangat menarik. (hlm. 181)
  • Bagaimana koneksiku dengan Indonesia? Melalui bahasa dan budaya. (hlm. 182)

Onechul Shin[sunting]

  • Dalam hidup ini selalu kuusahakan untuk menyederhanakan kehidupan sehari-hari karena dunia terlalu rumit. Aku ingin merasakan hidup tenang tanpa terombang-ambing oleh kerumitan dunia. (hlm. 188)
  • Dengan penuh kesadaran, aku tahu bahwa keluarga bukan milikku. Namun, mereka adalah penyelamat hidupku. Mereka menempatkanku untuk kembali ke tempat semula setelah berkeliaran. (hlm. 189)
  • Rasanya bahagi jika melakukan rekaman, apalagi bisa meninggalkan jejak manis di dunia yang aku sukai. (hlm. 190)

T.G.[sunting]

  • Lama-lama aku berpikir, mereka tidak salah. Ini hanya perbedaan budaya saja. (hlm. 194)
  • Jujur, terkadang aku mendapati ada saja di antara mereka yang tak benar-benar peduli pada kenyamanan orang lain. Ada pula yang pernah kurang menghargai orang lain. (hlm. 194)
  • Aku tahu kadang kelambatan menunjukkan seberapa besar ketenangan seseorang, seberapa mampu orang menyeimbangkan hidup dengan kelambatan itu. Untuk itu, aku perlahan aku merasa kenyamanan. Aku merasadisembuhkan secara fisik dan psikis melalaui orang-orang Indonesia dan budaya di Indonesia. (hlm. 195)

Zhangyi[sunting]

  • Kami sekeluarga menghindari berita-berita seputar Corona, karena tak ingin pikiranmenjadi negatif. Kami lebih memilih menonton film kartun dan drama. Itu sangat menghibur hati kami. (hlm. 201)
  • Tak jarang, di dalam apartemen pun kami memakai masker jika dirasa perlu. Aku tetap sangat yakin, semua ini akan benar-benar berakhir. Kebaikan di dunia akan tumbuh lagi, sinar matahari akan benar-benar menyapa kita dengan hangat, dan kita akan bangun pagi dengan perasaan sangat bersemangat lagi. (hlm. 202)
  • Bagaimana kondisi negara-negara yang lainnya? Kuharap kalian semua tetap kuat dan yakin bahwa semua ini akan berakhir. (hlm. 202)
  • Lalu, kalian akan mengenang betapa kuatnya menghadapi berbagai ujian di dunia ini. (hlm. 202)

Shadi Lahaleh[sunting]

  • Aku selalu berusaha menjadi diri sendiri tanpa memedulikan apa yang orang lain katakan tentangku. Terpenting, aku berusaha untuk tetap menjadi baik, fokus, dan berada dalam jalur yang benar. (hlm. 211)
  • Rasanya aku ingin sekali menjadi pahlawan untuk diri sendiri, karena Allah telah memberikan tubuh ini. Jadi, aku harus menyayanginya. (hlm. 213)
  • Kemudian, saat aku kembali ke Wuhan, kabar menyedihkan itu terdengar. Kematian demi kematian terjadi karena virus Corona. Ya, aku berada dalam lockdown. (hlm.214)
  • Kuharap, warga surga Wuhan kembali lagi. (hlm. 216)
  • Di sini ada berbagai warna manusia, ras, bahasa, dan agama. Kita semua sama-sama diciptakan dari tanah liat. Jadi, kuharap prinsip kemanusiaan dan perdamaian yang kita miliki ini bersifat sama. (hlm. 217)
  • Kenapa aku tidak meninggalkan Wuhan? Sebab, aku orang yang sabar. Jika kita orang yang belum memiliki kesabaran, kita tidak akan mencapai apa pun dalam hidup kita. (hlm. 217)
  • Aku juga mengamati, bahwa orang-orang Cina itu tenang. Mereka mencoba menghadapi masalah ini dengan solusi dan dengan penelitian ilmiah, bukan dengan teriakan yang tidak bermanfaat. (hlm. 219)
  • Di sini, semua berusaha menghentikan pandemi dan menyelamatkan semua nyawa. Itulah hikmah kebaikan yang kuperoleh di tengan pandemi. (hlm. 220)
  • Semoga kita bisa mendapat kebaikan dari vaksin. Semoga kesehatan menyertai kita. (hlm. 202)