Di Kaki Bukit Cibalak

Dari Wikikutip bahasa Indonesia, koleksi kutipan bebas.

Di Kaki Bukit Cibalak adalah sebuah novel yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Novel ini dikarang pada tahun 1978 untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1986. Kemudian, novel ini dicetak kembali beberapa kali oleh Gramedia Pustaka Utama. Novel ini mengisahkan seorang pemuda yang berusaha menghadapi dan menolak ketidakadilan sosial-politik di Desa Tanggir yang bertempat di kaki Bukit Cibalak.

Narasi[sunting]

  • Cibalak diam, sabar menanti apa pun yang bakal terjadi pada dirinya. Tetapi seolah-olah Cibalak mengerti, seorang pencintanya sedang pergi meninggalkannya. Seandainya ia bisa bertutur kata, pastilah Cibalak akan berseru, "Karena Mulyani, apakah kau akan meninggalkan aku, Pambudi?" Seruannya tidak pernah terdengar orang. Dan Bukit Cibalak membisu abadi. (hlm. 170)

Pambudi[sunting]

  • Nyatanya, aku sudah terjebak dalam sikap munafik. Sanis itu! Aku selalu teringat padanya, aku menyenanginya dan dia sama sekali belum dewasa.
  • [kepada Mulyani] Persahabatan tidaklah sesempit kotak-kotak teka-teki silang, bukan? (hlm. 113)
  • [kepada Pak Barkah] Sewaktu saya menjadi murid SMA dulu, seorang teman perempuan memberu saya hadiah sebuah kata-kata mutiara: Dalam lintasan cinta, semua orang menjadi seniman! (hlm. 126)
  • Rasa cinta tidak mati, meskipun aku telah dikhianatinya. (hlm. 168)
  • Dengan sungguh-sungguh aku berusaha supaya aku tidak jatuh cinta kepada Mulyani, karena tentang cinta aku berpendirian kolot: Rasa cinta hanya buat bekal perkawinan. Nah, aku hendak mengawini Mulyani? Oh, seribu perbedaan yang harus kusingkirkan sebelum aku memutuskan demikian. Cinta tidak akan lestari bila berjalan terlalu jauh dari kenyataan. (hlm. 169)

Mbok Ralem[sunting]

  • Oalah, Pengeran, apa yang sedang terjadi dalam hidupku ini? Sakitku telah sembuh. itu sudah cukup, cukup. (hlm. 53)

Mulyani[sunting]

  • [kepada Pambudi] Nah, kau mulai berbicara dengan hanya menggunakan otak. Aku benci, benci pada orang yang tidak bisa menghargai perasaan. Persahabatan harus juga dihiasi dengan perasaan. Pam, kukira kau tak mempunyai cukup perasaan. (hlm. 113)

Topo[sunting]

  • [kepada Pambudi] Pam, kukira banyak anak muda seperti kita ini yang mempunyai semangat Don Quichote, meskipun tarafnya berbeda-beda. Terkadang kita ingin segera mengenakan baju besi, memanggul tombak, dan lari menantang musuh. Tetapi ingat, hanya Arjuna yang kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang raksasa. Hanya si kecil Daud yang bisa menang atas Goliat. Semuanya cerita lama. (hlm. 99-100)
  • [kepada Pambudi] Inilah saatnya kau memercayai kata-kata seorang admiral yang sedang menghadapi pemberontakan anak buahnya sendiri, 'I have not begun to fight yet'. (hlm. 100)

Pak Dirga[sunting]

  • [kepada Poyo] Jempolan! Simpan buku yang kedua itu. Nanti pada saat yang tepat kita akan menyebarluaskan isinya. Semua warga Tanggir akan mencap Pambudi sebagai 'kelilip' desa. (hlm. 60)

Pak Barkah[sunting]

  • [kepada Pambudi] Oh, rupanya saya sedang berhadapan dengan seorang jentelmen muda. (hlm. 37)
  • [kepada Pambudi] Juga karena kalianlah aku merasa yakin bahwa tidak sesuatu pun telah hilang dari diri kita sebagai manusia. Memang, si anu itu jarang hadir di antara kita. Dia jarang muncul di jalan-jalan, pasar, atau pabrik, bahkan kantor-kantor sekalipun. Tetapi bagaimanapun juga si anu masih ada. Kita sendiri yang baru membuktikannya: Kemanusiaan. (hlm. 54-55)

Bambang Sumbodo[sunting]

  • [kepada Ayahnya] Tentu Ayah pernah mendengar, ada kabar busuk yang pernah tersebar di Tanggir: Pambudi menggelapkan uang koperasi sebanyak 125.000 rupiah. Dapat kita tebak siapa yang membuat berita itu. Sekarang Pambudi sedang melancarkan serangan balasan. Kalau anak itu berbuat demikian berarti ia sedang mengajak lurahnya berhadap-hadapan di depan pengadilan. (hlm. 152)

Ayah Pambudi[sunting]

  • [kepada Pambudi] Turutilah tutur kata para orang tua: Wani ngalah, luhur wekasane. Berani mengalah, menjadikan kita luhur pada akhirnya. (hlm. 93)
  • [kepada Pambudi] Ingat, anakku, ini Desa Tanggir. Orang-orang di sini percaya bahwa seseorang tidak mungkin menjadi lurah kalau ia tidak dijatuhi wahyu cakraningrat. (hlm. 94)

Dialog[sunting]

Topo: "Hai, maling pepaya, apa yang kaucari di sini?"
Pambudi: "Yah, aku mencari sesama maling. Kudengar dia di sini, hampir menjadi doktorandus!" (hlm. 97)

Topo: "Di Yogya ini, bahkan di kota seperti Yogya ini, aku belum pernah melihat seorang perempuan dengan gigi gyang gingsul dan secantik Bu Asrifah. Kau percaya?"
Pambudi: "Lalu mengapa dulu kau tidak menantang suami Bu Asrifah yang nyinyir dan tua itu berduel?" (hlm. 99)

Tokoh[sunting]

  • Pambudi
  • Mbok Ralem
  • Sanis
  • Mulyani
  • Topo
  • Poyo
  • Pak Dirga (Lurah Tanggir)
  • Pak Barkah
  • Ayah Pambudi
  • Bambang Sumbodo
  • Nyonya Wibawa (Oei Eng Hwa)
  • Camat Kalijambe (Ayah Bambang Sumbodo)

Pranala luar[sunting]

Wikipedia memiliki artikel ensiklopedia mengenai: