Ayu Utami
Tampilan
Ayu Utami adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Kutipan
[sunting | sunting sumber]- "Dalam pelajaran tata bahasa tingkat dasar sudah terdapat pelajaran bahwa "seksual" bukanlah kata benda. Dari segi kalimat, kata "... mengeksploitasi seksual" pasti lebih tepat "mengeksploitasi seksualitas". Dari segi tata bahasa itu, kalau diteliti lebih lanjut, akan makin terlihat kesembronoan rancangan undang-undang ini. Erotika, sebagai kata yang netral, di situ diperlakukan sebagai kata yang jorok. Ini bukan hanya kesembronoan terhadap bahasa kita, tapi juga terhadap bangsa kita"[1]
Kutipan buku Saman (1998)
[sunting | sunting sumber]- Dunia ini penuh dengan orang jahat yang tidak dihukum. Mereka berkeliaran. Sebagian karena tidak tertangkap, sebagian lagi memang dilindungi, tak tersentuh hukum, atau aparat. (hal. 34)
- Semua anak perempuan sama saja. Mereka mungkin saja teko, cawan, piring, atau sendok sup, tetapi semua nya porselin. Sedangkan anak laki-laki? Mereka adalah gading: tak ada yang tak retak. (hal. 127)
- Sesuatu bisa hilang begitu saja dari ingatan, seperti arwah, seperti mimpi. Kita cuma bisa merasakan jejaknya pada diri kita, tanpa bisa mengenalinya lagi. Kita tinggal benci, kita tinggal marah, tingal takut, tinggal cinta. Kita tak tahu kenapa. (hal. 140)
- Kesucian, bahkan kesederhanaan, yang dipaksakan seringkali malah menghasilkan inkuisitor yang menindas dan meninggalkan sejarah hitam. (hal. 165)
- Karena itu saya percaya bahwa Tuhan tidak bekerja dengan memberi kita loh batu berisi ide-ide tentang dirinya dan manusia. Tuhan bekerja dengan memberi kita kapasitas untuk mencintai, dan itu menjadi tenaga yang kreatif dari dalam diri kita. (hal. 165)
- Saya kira Yesus sendiri tidak mau memonopoli cintakasih. (hal. 166)
- Penebusan adalah satu hal, tapi kapasitas untuk terlibat dan mencintai ada pada setiap manusia. (hal. 166)
- Apapun alasannya, betapapun telah panjang penyebabnya, kekerasan yang kita lakukan akan dibilang teror liar. Dan kita akan dianggap kriminal atau subversif. Sementara kekerasan yang dilakukan polisi dan tentara disebut tindakan legal demi keamanan atau pembangunan. Itulah yang dinamakan hukum. (hal. 173)
- Kita hidup dalam kegentaran pada seks, tetapi laki-laki tidak mau dipersalahkan sehingga kami melemparkan dosa itu kepada perempuan. (hal. 187)
Kutipan buku Larung (2001)
[sunting | sunting sumber]- Maka ia tidak pergi ke dalam gelap sebab ia tahu matahari tak mampu mengusir maut. Terang tidak mengalahkan kematian. (hal. 2)
- Tetapi subuh adalah saat menjelang cahaya lewat dan gelap lari ke barat. Di sana ada aroma keberangkatan, aroma perhentian, dan bau asap pertama: pada subuh ada perjalanan yang tak habis-habis. (hal. 3)
- Diamlah, Nak. Jangan benci. Sebab dendam menyelamatkan kita dari dendam yang lain, kematian menghidupkan kita dari kematian yang akan datang. (hal. 14)
- Ketika orang menjadi tua maka keindahan pergi ke luar dirinya. Pada saat itulah kita tahu rasanya memiliki mata untuk melihat kecantikan hidup dari luarnya sebab kita telah berjarak dari hidup. (hal. 19)
- Tapi menjadi tua adalah seperti bayangan yang pelan-pelan terlepas dari layar dan meninggalkan film yang terus berputar sementara ia terhirup ke kursi penonton dan menyaksikan cerita yang berjalan tanpa dirinya di sana lagi. (hal. 19)
Kutipan buku Bilangan Fu (2008)
[sunting | sunting sumber]- Modernisme adalah alat untuk memperalat. Takhayul adalah alat untuk diperalat. (hal. 186)