Tiga Sandera Terakhir

Dari Wikikutip bahasa Indonesia, koleksi kutipan bebas.

Tiga Sandera Terakhir adalah novel thriller-militer karya penulis Indonesia, Brahmanto Anindito. Novel bersubjudul Terinspirasi dari Konflik Berdarah di Timur Indonesia ini diterbitkan oleh Noura Books pertama kalinya pada 2015. Tiga Sandera Terakhir bertutur tentang drama penyanderaan yang terjadi di pedalaman Papua. Tentara Nasional Indonesia (TNI) lalu meresponnya dengan mengirim Satuan Antiteror dari Kopassus. Namun, korban malah berjatuhan.

Narator[sunting]

  • Melihat pertunjukan sadis yang baru saja ditampilkan, siapapun tahu, hanya dibutuhkan sepotong ucapan keliru untuk memantik sebuah pembantaian.
  • Meskipun sama-sama orang Papua dan lokasi tinggalnya tak terlalu jauh, bahasa Nduga dan Amungme sudah berbeda jauh kosakatanya. Menyebabkan antarsuku pun sulit berkomunikasi. Sungguh, terasa benar manfaat bahasa Indonesia yang dideklarasikan pada 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda itu. Meskipun faktanya, perwakilan Papua tidak ada di forum pemuda tersebut.

Kolonel Larung Nusa[sunting]

  • (Untuk Mayjen Deddy Lestaluhu) "Kalau upaya-upaya ini ternyata melempem, Pak, harap dicatat, para penyandera itu sebenarnya bukanlah tandingan Kopassus."
  • (Untuk Serda Baridu) "Kita sudah punya nama 'Indonesia', alih-alih 'Hindia Belanda' sejak 1918. Kita sudah punya lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' sejak 1928. Sudah punya bendera nasional Sang Saka Merah-Putih sejak 1938. Apakah saat itu sudah ada Negara Indonesia, Sersan? Tidak. Kita baru punya negara setelah 1945! Begitu juga saudara-saudara kita di sini. Saya kira, mereka tidak punya pemerintahan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mereka juga tidak mengantongi pengakuan internasional. Itu juga syarat sebuah negara. Syarat yang paling penting, bahkan!"
  • (Untuk Pendeta Johan Castilla) "Bila kami disuruh membunuh, kami bunuh. Disuruh menangkap, kami tangkap. Begitu pula bila disuruh diam meski diludahi dan dikencingi musuh, kami akan diam! Dalam militer, akan dianggap tindak kriminal bila kami tidak mematuhi perintah atasan, sekalipun perintah itu berlawanan dengan nurani kami."
  • "Ini lagi, pasti teman-teman mabuknya! Kapan Papua bisa maju kalau orang-orangnya masih banyak yang model begini?"

Tafiaro Wenda[sunting]

  • (Untuk Kolonel Larung Nusa) "Saya pernah melakukan segalanya untuk Ibu Pertiwi. Tapi, lihat saya sekarang, Bapak. Tersingkir. Terbuang!"
  • (Untuk Witir Femmilio) "Kau tak apa-apa? HEI, GONDRONG! Jangan makan gaji buta, kau ini! Nanti saja matinya! Sekarang, bantu kami, he!"

Nona Gwijangge[sunting]

  • "OPM sekarang berjuang lewat diplomasi. Yang tak ada akses ke politik atau ke orang berkuasa di luar negeri, berjuangnya lewat internet. Mereka rajin membangun opini publik. Tentang ketidakadilan yang diterima rakyat Papua. Tentang Papua yang masih melarat, jauh di bawah standar hidup Jawa."
  • "Target kita adalah pasukan sempalan OPM. Mereka sadis. Dengar berita penyanderaan kemarin itu? Nah, mereka ini pelakunya. Dan masih bebas di luar sana. Bahkan mereka sudah bikin mampus dua tentara, salah satunya Anam Mardianto. Kalau Kakak merasa terpanggil, kalau masih ada itu jiwa korsa, hubungi nomor itu."
  • "Tindakan ini, Bapak-bapak, bukan tentang OPM. Bukan tentang kemerdekaan negara Papua Barat. Ini tujuannya lebih besar dari itu."

Kresna Sonar[sunting]

  • (Untuk Nona Gwijangge) "Saya pernah membunuh babi hutan seberat 100 kg dengan kujang ini, Neng. Kira-kira, kulit dan daging Eneng lebih tebal dari babi hutan, tidak, ya?"
  • "Kita sewaktu-waktu bisa terbunuh dalam pertempuran ini. Tapi sebelum kita mati, mari kita buat sebanyak mungkin lawan mati duluan."

Witir Femmilio[sunting]

  • (Untuk Nona Gwijangge) "Tipu-tipunya TNI? Mungkin saja. Tapi mungkin juga, itu justru propaganda OPM yang berbuat seakan-akan TNI melakukan tipu-tipu di media."
  • (Untuk Tafiaro Wenda) "Gendheng! Mereka punya RPG? Sejak kapan, hah?"
  • "Mereka benar-benar seperti nyamuk. Tidak peduli seberapa banyak yang sudah kita bunuh, kawan-kawannya terus saja berdatangan."

Thomas Enkaeri[sunting]

  • "Kalau kami minta ubi, harus dapat ubi. Jangan minta ubi, dikasih ketela. Beginilah akibatnya! – Salam, Enkaeri Harga Mati"
  • (Untuk Sertu Anam Mardianto) "Kau tahu apa yang aku benci dari Polisi dan TNI? Semuanya."
  • (Untuk Kolonel Larung Nusa) "Kita bertarung tangan kosong. Kalau menang, Tuan bisa pulang. Kalau kalah, mayat Tuan akan kami awetkan sebagai mumi di sini. Dalam tradisi kami, hanya orang-orang istimewa yang mayatnya dimumikan. Jadi, menang atau kalah, Tuan tidak akan rugi. Bagaimana?"

Mikael[sunting]

  • (Untuk Ambo Rawallangi) "Kau dan semua orang Indonesia itu tutup mata! Selalu tutup mata! Coba saja kalau Pepera itu diadakan lagi tahun ini. Coba saja kalau Indonesia punya nyali mengadakan referendum buat Papua! Pasti 90% lebih orang Papua pilih merdeka! Tidak ada orang yang waras yang menolak punya negara sendiri!"
  • (Untuk Ambo Rawallangi) "Harusnya kami orang Papua kaya-kaya. Kalian orang-orang Indonesia yang mengeruk kekayaan kami. Tipu kami. Bikin kami sengsara seperti ini."

Ambo Rawallangi[sunting]

  • (Untuk Mikael) "Kami ini hanya turis. Kami kemari justru untuk menambah pendapatan bagi Papua, Pak Mikael. Tapi lihat, kami malah disandera."
  • (Untuk Akilas) "Salah kami apa? Kami ini tidak tahu apa-apa soal Enkaeri, Pak Akilas. Bahkan Enkaeri itu nama laki-laki atau perempuan saja saya tidak tahu!"
  • (Untuk Mikael) "Krimea, wilayah di Ukraina, juga melakukan referendum. Hasilnya apa? Mereka malah memilih bergabung dengan Rusia kembali. Gabung ke negara besar, Rusia, untuk maju bersama. Skotlandia juga menyelenggarakan referendum, Pak, tahun 2014. Pilihannya berdiri sendiri sebagai negara atau tetap di bawah Inggris Raya. Rakyat Skotlandia ternyata memilih tetap bergabung dengan Inggris Raya! Sekali-sekali keluar rumah dong, Pak. Biar tahu perkembangan dunia!"

Pendeta Johan Castilla[sunting]

  • (Untuk Kolonel Larung Nusa) "Dari kacamata saya, Indonesia seperti seseorang yang semasa remajanya sering dibuli. Akibatnya, ia menjadi pembuli ketika dewasa. Rantai dibuli dan membuli ini harusnya diputus, Komandan!"
  • (Untuk Kolonel Larung Nusa) "Mereka ingin Indonesia mengakui kemerdekaan Papua Barat. Itu satu-satunya jalan untuk membebaskan sandera hidup-hidup. Saya yakin, Jakarta takkan mau meluluskan permintaan ini. NKRI harga mati di sini, merdeka harga mati di sana. Ah!"