Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi

Dari Wikikutip bahasa Indonesia, koleksi kutipan bebas.
Wikipedia memiliki artikel ensiklopedia mengenai:

  • Hakikat kepariwisataan adalah berdasar pada keunikan, kekhasan, kelokalan, dan perbedaan. Tanpa adanya perbedaan, tak mungkin ada kepariwisataan. Tanpa adanya yang unik, berbeda, dan bersifat lokal, tidak akan ada orang yang akan melakukan perjalanan. Uniformitas, penyeragaman, akan mematikan kepariwisataan. Karena itu (undang-undang itu) sangat bertentangan dengan hakikat kepariwisataan itu sendiri (I Gede Ardika, mantan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata)[1]
  • Dalam pelajaran tata bahasa tingkat dasar sudah terdapat pelajaran bahwa "seksual" bukanlah kata benda. Dari segi kalimat, kata "... mengeksploitasi seksual" pasti lebih tepat "mengeksploitasi seksualitas". Dari segi tata bahasa itu, kalau diteliti lebih lanjut, akan makin terlihat kesembronoan rancangan undang-undang ini. Erotika, sebagai kata yang netral, di situ diperlakukan sebagai kata yang jorok. Ini bukan hanya kesembronoan terhadap bahasa kita, tapi juga terhadap bangsa kita (Ayu Utami) [2]
  • Dari mana istilah "pornoaksi" itu berasal karena dicari di kamus di mana pun tak ada istilah "pornoaksi". Ini permainan politik, politik seks. Semangatnya melarang, mengintimidasi, bukan melindungi. Pada RUU APP itu seperti terjadi "revolusi kebudayaan", yang ingin mengintroduksikan dan memaksakan bentuk kebudayaan impor, kebudayaan yang bukan dari Indonesia. (Gadis Arivia)[3]
  • RUU ini, menggunakan logika patriarkis—logika yang menganggap nilai-nilai yang melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan dan karenanya mendominasi—sebab melekatkan dosa dan moral pada tubuh perempuan. Seks, tubuh, dan sensualitas merupakan ekspresi kebebasan intelektual yang tidak mengandung bahaya apa pun. Di berbagai negara demokratis pornografi diakui ada dalam kehidupan manusia sehingga hanya dapat diatur melalui pengaturan distribusi, pajak, dan materi pornografi. (Gadis Arivia)[4]
  • Dalam kasus bahasa agama, aurat perempuan misalnya, bagaimana ia harus diberi batasan atau ditafsirkan dan diterjemahkan? Apakah itu berarti sama dengan ketelanjangan atau semitelanjang? Lalu parameter yang disepakati mengenai kedua kata ini? Dalam hukum Islam kata aurat ditafsirkan oleh ulama secara berbeda-beda. Sebagian ulama menyatakan semua tubuh perempuan, sebagian mengecualikan wajah dan telapak tangan, sebagian mengecualikan wajah, telapak tangan dan telapak kaki, sebagian mengecualikan wajah, lengan tangan dan betis kaki. Batasan mana yang menjadi pandangan RUU ini? (KH Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon) [5]
  • Ini antiseksualitas dan antierotika. Dari segi kebudayaan ini sangat berbahaya. Padahal, seksualitas dan erotika itu sangat penting untuk kesehatan. Problem di Indonesia saat ini, adalah tidak atau kurang tergarapnya modal sosial. Daulat manusia tidak ada. Tanpa daulat manusia, tidak ada daulat rakyat dan daulat hukum. Yang ada daulat partai, daulat pemerintah. Meski ada reformasi segala, keadaan kita ternyata masih seperti ini. (WS Rendra) [6]
  • Yang paling khawatir adalah orang menerima kaidah yang sangat berbahaya yaitu negara boleh mengatur moralitas. Saya lupa kata-kata persisnya Iwan Fals tetapi dia mengatakan, "Moral dan akhlak biar kita saja yang mengurus. Bapak presiden yang baru dipilih membuat peraturan yang bersih saja." Kalau negara sudah campur dengan moralitas, kita bisa jadi negara Taliban atau bisa jadi seperti George W. Bush. (Wimar Witoelar) [7]
  • Pakaian adat Indonesia yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan saja di museum. Itu harus dianggap sebagai pornoaksi dan harus masuk dalam kategori porno yang diatur dalam RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP). "Itu disimpan saja di museum, jangan dilestarikan, karena tidak sesuai dengan martabat bangsa ini. Biar menjadi sejarah bahwa itu pernah menjadi bagian dari bangsa ini." (Cholil Ridwan, Ketua Majelis Ulama Indonesia) [8]
  • pemberantasan pornografi-pornoaksi yang diatur dalam RUU-APP itu bukan untuk menghancurkan Bhinneka Tunggal Ika, karena di dalam kebhinekaan itu tidak ada yang porno. Maka saat ini para demonstran berkumpul untuk membersihkan negeri ini dari segala bentuk pornografi-pornoaksi (Ketua MUI Pusat KH Ma'ruf Amien, saat Aksi Sejuta Umat 21 Mei 2006)
  • industri pornografi-pornoaksi telah dijalankan oleh sistem, karena itu pemberantaran pornografi-ponoaksi menjadi mandul (Habib Rizieq, saat Aksi Sejuta Umat 21 Mei 2006)
  • Ini bukan perjuangan untuk mengesahkan RUU-APP, karena ternyata RUU-APP yang tengah digodok oleh DPR justru melenceng dari fatwa MUI. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa telah dihilangkan, yang menunjukkan bahwa negeri ini hendak diseret menjadi semakin sekuler. Jika RUU ini disahkan, ia juga tidak boleh menyimpang dari syariah. Karena itu, serunya, perjuangan kita masih panjang. Karena hanya dengan syariah, negeri ini bisa diselamatkan, dan itu hanya mungkin jika negeri ini berada dalam naungan Khilafah Islam. (H. Ismail Yusanto, juru bicara HTI, saat Aksi Sejuta Umat 21 Mei 2006)[9]
  • Yogyakarta menolak RUU Pornografi karena banyak pasal dari RUU tersebut yang rumusannya tidak jelas. Misalnya dalam Pasal 14 ada kalimat "perbuatan penyebarluasan dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan jika untuk kepentingan atau memiliki nilai seni budaya, adat istiadat dan, ritual tradisional". Padahal setiap UU seharusnya tidak ada pengecualian. Ini menunjukkan ada pasal yang diskriminatif. Selain itu pada Pasal 20 ada kalimat "masyarakat berperan serta melakukan pencegahan terhadap pembuatan penyebarluasan pornografi". Ini berbahaya karena masyarakat diminta berpartisipasi dalam pencegahan pornografi, tetapi tidak ada penjelasan konkret mengenai tindakan tersebut. (GKR Hemas, 22 September 2008) [10]
  • RUU Pornografi dibuat dengan pikiran yang ngeres sehingga yang diurusi cuma perkara yang membangkitkan hasrat seksual. RUU itu hanya berisi pernyataan multitafsir yang tidak bisa dibenarkan dalam suatu UU. (Butet Kartaredjasa, 22 September 2008) [11]
  • Pemerintah Provinsi Sulut telah didesak oleh sejumlah pemangku masyarakat di Sulawesi Utara untuk menolak pengesahan undang-undang pornografi. Saya dapat banyak SMS dan telepon yang meminta Sulut menolak undang-undang itu. Masyarakat kami sangat menghormati perempuan, sehingga tidak ada disparitas jender. (Freddy Sualang, Wakil Gubernur Sulawesi Utara, 18 September 2008) [12]
  • Saya melihat ada agenda politik orang-orang di DPR untuk meraih suara lagi di Pemilu berikutnya. Banyak konstituen mereka, saya kira akan senang kalau peraturan dengan nama menghabisi pornografi digolkan. Tapi saya yakin ada agenda politik jangka pendek orang per orang di DPR. (Ayu Utami, 8 April 2008) [13]